Dari Surau ke Kampus: Menyusuri Jejak Tradisi Ilmu yang Terlupakan

Ali Zain Aljufri - Seorang laki-laki tua sedang bersantai bersila di beranda surau, menikmati sore Minangkabau yang lembap. Tangannya memegang sebuah buku berwarna kuning, sampulnya menguning termakan usia. Sekelompok anak muda mendengarkan setiap kata-katanya, terpikat tanpa layar, tanpa mikrofon, hanya suara yang menyampaikan pesan. Pengetahuan bersinar bagaikan mercusuar, dan tak akan redup oleh bayang-bayang jiwa.
Adegan ini mungkin tampak aneh bagi kita saat ini. Dulu, pendidikan Islam di Indonesia adalah soal sentuhan pribadi, pertemuan dari hati ke hati antara guru dan murid, di mana ilmu dan budi pekerti benar-benar bersatu. Tempat ini bukanlah ruang kuliah ber-AC yang biasa Anda temui; lebih mirip surau, langgar atau pesantren: tempat suci dimana kebijaksanaan tumbuh melalui usaha tulus dan kesopanan.
Pemandangannya sudah berubah; berpindah rumah dari surau ke kampus, dari ruang spiritual ke ruang rasional. Tradisi lama masih ada, tapi mereka menikmati waktu manisnya di dunia modern yang serba cepat. Apa yang hilang dari perjalanan panjang ini?
1. Jejak Awal: Surau dan Tradisi Pengetahuan yang Mengakar
![]() |
| Ilustrasi: Suasana belajar di surau tempo dulu |
Surau di Minangkabau, dayah di Aceh atau pesantren di Jawa; semuanya bermula dari satu kebutuhan dasar yang sama: mencari ilmu yang tidak sekadar praktis, tapi juga memiliki makna yang lebih dalam. Dalam kisah pesantren dan surau di Indonesia, belajar lebih dari sekadar otak; belajar juga merupakan petualangan spiritual.
Di surau, seorang santri tidak hanya belajar membaca teks tetapi juga belajar membaca sendiri. Ia mendalami ta’dib; adab, disiplin jiwa dan kesadaran akan tempat kita di mata Tuhan. Kitab itu mungkin serupa di mana-mana, namun ikatan antara guru dan murid lah yang benar-benar menghidupkannya dan memberinya jiwa.
Surau bukan sekedar tempat ibadah; ini adalah ekosistem ilmiah. Para ulama’ menjadikannya sebagai wadah ngobrol tentang tafsir, syari’at Islam, tasawuf dan perbintangan. Santri tinggal, makan dan menuntut ilmu di sana; membentuk komunitas belajar yang berbasis kesalehan sosial. Pengetahuan dibagikan melalui hati, bukan hanya melalui kepala.
Namun seiring berjalannya waktu, tren baru muncul: kolonialisme, rasionalisme Barat dan lonjakan modernisasi pendidikan. Di sinilah segalanya mulai berubah.
2. Bentrokan Dua Dunia: Tradisi vs Rasionalitas
![]() |
| Ilustrasi: perbandingan antara tradisi vs rasionalitas |
Ketika sistem pendidikan Barat diluncurkan pada awal tahun 1900-an, cara kita belajar mengalami perubahan besar. Sekolah dan perguruan tinggi membawa suasana segar: manajemen terorganisir, kategorisasi sains dan sistem di mana Anda dapat mengukur nilai Anda. Pengetahuan bukan lagi sekedar pencarian pribadi; kali ini dipandang sebagai aset terukur yang mendapat kredit dan pengakuan formal.
Sistem ini meningkatkan efisiensi dan mendorong kemajuan. Inilah yang kita sebut pendidikan Islam modern: tempat-tempat seperti madrasah, universitas Islam dan pusat-pusat penelitian yang berfokus pada agama. Namun di sisi lain, ada sesuatu yang perlahan memudar: yaitu jiwa.
Di surau dan pesantren, guru tidak hanya sekedar mengajar; mereka juga membantu membentuk kepribadian siswa. Saat ini, profesor di kampus sering kali menjadi sasaran administrasi, departemen penelitian dan pencarian publikasi. Siswa tidak lagi mencari berkah dari pengetahuan; mereka hanya menginginkan gelar dari sekolah. Ilmu pengetahuan terstruktur, tetapi hal itu agak kehilangan getaran yang penuh perasaan.
Sebagian pemikir menyebut hal ini sebagai krisis ta’dib; krisis peradaban di dunia saat ini. Krisis yang bukan hanya tentang benar dan salah, tapi tentang bagaimana kita memahami sesuatu: kita punya banyak sekali informasi, tapi kita bingung apa arti dari semua itu.
3. Pendidikan Islam Modern: Antara Maju dan Kehilangan Akarnya
![]() |
| Ilustrasi: suasana di salah satu Pesantren di pelosok |
Jujur saja, pendidikan Islam modern tidak bertentangan dengan tradisi. Itu hanya sebuah hal lumrah di zaman sekarang. Dunia sedang berubah, dan Islam terus berdiskusi tentang apa yang terjadi di sekitarnya. Universitas Islam Negeri (UIN), Institut Agama Islam dan fakultas-fakultas kajian Islam di berbagai kampus menunjukkan bahwa keilmuan Islam tidak hanya sekedar surau.
Namun transformasi ini menimbulkan pertanyaan: apakah modernisasi berarti mencabut akarnya?
Jika kita menengok kembali sejarah pesantren, terlihat jelas bahwa pesantren-pesantren selalu berhasil mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan esensinya. Para empu jaman dahulu memadukan kearifan zaman dengan tuntutan jaman mereka. Mereka tidak menampik modernitas, namun tetap menjaganya agar tetap beradab.
Dalam sudut pandang yang berbeda, lingkungan kampus saat ini sering kali lebih menghargai keterampilan daripada penilaian yang baik. Siswa belajar tentang teori pendidikan Islam, namun mereka jarang mendapat kesempatan untuk memikirkan nilai-nilai ta’dib yang menjadi fondasinya. Pengetahuan keagamaan banyak dibicarakan di halaman sekolah, namun hal tersebut tidak menyentuh perasaan yang dulu membuatnya populer.
4. Dari Ruang Spiritual ke Ruang Akademik
![]() |
| Ilustrasi: suasana belajar di salah satu universitas swasta |
Perubahan ini bagaikan berpindah dari taman yang rimbun ke laboratorium klinis yang dingin. Di surau, pengetahuan berkembang secara alami; yang penting ngobrol, dekat dan sabar. Di kampus, ilmu menyebar dengan cepat, namun terkadang agak goyah.
Namun, jangan salah sangka: Kampus terkadang bisa menjadi sangat dingin. Sekelompok guru dan siswa bekerja keras untuk mengembalikan nuansa spiritual dalam pembelajaran hari ini. Mereka mencoba menghubungkan titik-titik antara cara-cara kuno dan pemikiran cerdas.
Beberapa perguruan tinggi Islam di Indonesia kini memasukkan pendidikan kecerdasan spiritual dan karakter ke dalam program studinya. Ada pula gerakan intelektual yang menghidupkan kembali pembacaan Kitab Kuning di kampus, bukan sekadar sebagai kitab klasik, namun sebagai sumber etika dan nilai.
Pada titik ini, tradisi dan modernitas tidak lagi berbenturan. Mereka benar-benar berjalan dengan baik; ketika keduanya benar-benar bisa mendengarkan satu sama lain.
5. Mencari Surau yang Hilang di Nusantara
![]() |
| Ilustrasi: suasana kebersamaan dan kehangatan di Pesantren |
Bagi mereka yang mempelajari sejarah pendidikan, surau Nusantara lebih dari sekedar bangunan kuno atau peninggalan zaman kolonial. Ia merupakan simbol sistem pengetahuan yang sangat terhubung dengan komunitas dan spiritualitas.
Ketika kita berbincang tentang surau, kita benar-benar menyelami cara berpikir masyarakat setempat yang menganggap bahwa mengetahui segala sesuatu berkaitan dengan melakukan hal yang benar, dan menjadi lebih pintar berarti menjadi lebih baik dalam hidup.
Sedihnya, banyak surau yang mengubah cara mereka: sekarang hanya untuk upacara-upacara besar, tidak lagi untuk belajar dan mengajar. Pembimbing spiritual lama sudah tidak ada lagi, dan sekarang kita mempunyai sistem yang baru, efisien namun kurang personal.
Padahal, jika kita menelusuri sejarah pesantren dan surau di nusantara, kita menemukan bahwa di sanalah lahir para ulama, pejuang, dan pemikir besar; dari Syaikh Ahmad Khatib hingga Haji Agus Salim, dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari hingga Buya Hamka. Mereka semua tumbuh dalam tradisi yang memadukan logika dengan emosi.
Kita mungkin telah mengabaikan surau, namun surau itu masih ada. Dia masih berpegang pada prinsip-prinsip ilmiahnya yang asli; jika kita mencarinya lagi
6. Mencari Pendekatan yang Seimbang: Memadukan Semangat dan Logika
![]() |
| Ilustrasi: keseimbangan antara semangat dan logika |
Jadi, tantangan saat ini bukan memilih antara surau dan kampus, melainkan menghubungkan keduanya. Dunia kampus kuat dalam metode dan ilmu pengetahuan. Dunia surau kaya akan kedalaman dan keikhlasan menuntut ilmu. Guru, pembelajar dan pendidik Islam modern bisa memulainya dari hal-hal kecil:
- Mengembalikan pentingnya sopan santun dalam pendidikan dan pembelajaran
- Memasukkan pembelajaran spiritual dan kontemplatif ke dalam kurikulum sekolah
- Mengulangi konsep belajar sebagai tindakan penghormatan, bukan sekadar perlombaan
- Menghidupkan kembali tradisi obrolan nyaman penuh makna dari masa surau
Dengan cara ini, pendidikan Islam modern tidak hanya menghasilkan sarjana; hal ini juga membentuk orang-orang yang berpengetahuan luas dan mempunyai budi pekerti yang baik
7. Kesimpulan: Menyulam Kembali Jejak yang Terlupakan
![]() |
| Ilustrasi: lulusan kampus yang berbekal ta’dib dari Pesantren |
Perjalanan dari surau ke kampus bukan berarti kehilangan sesuatu; Hal ini lebih merupakan sebuah tantangan bagi masyarakat kita. Kehidupan modern telah membawa kita maju, namun hal ini juga menjauhkan kita dari fondasi yang dulu memberi tujuan pada hidup kita.
Sekarang, dalam dunia akademis yang sangat kompetitif ini, kita harus bertanya pada diri sendiri: mengapa kita mengejar pengetahuan ini? Apakah ini tentang menaklukkan dunia, atau mengenal diri sendiri lebih baik?
Tradisi surau mengajarkan bahwa pembelajaran sesungguhnya bukan sekedar mendapatkan jawaban, tetapi juga tentang menumbuhkan kearifan.
Jika kita memadukan suasana kampus dengan semangat surau, kita mungkin akan menemukan pembelajaran Islam yang segar dan tidak hanya cerdas, tetapi juga cemerlang. Dan barangkali, pertanyaan terakhir yang harus kita renungkan bersama adalah: Apakah kita masih belajar menjadi manusia, ataukah kita hanya manusia yang belajar?







Post a Comment