Kenapa Aku Memilih Pergi, Bukan Bertahan?

Ali Zain Aljufri - Ada momen tertentu dalam hidup ketika satu keputusan sederhana dapat mengguncang seluruh fondasi diri. Ketika sebuah perjalanan singkat di peta terasa seperti pergeseran benua dalam hati. Ketika meninggalkan bukan sekadar berpindah tempat, tetapi berpindah arah hidup.
Bagi sebagian orang, 70 kilometer bukan jarak yang jauh. Namun bagi seorang perantau, setiap kilometer mengandung cerita. Setiap putaran roda menggeser masa lalu. Setiap detik perjalanan menggores makna. Dan bagi saya, 22 November 2017 adalah hari ketika kehidupan memasuki bab baru yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Inilah hari ketika saya meninggalkan Bojonegoro menuju Nganjuk.
1. Pagi yang Terang, Siang yang Padat, dan Sore yang Basah
![]() |
| Ilustrasi: mengawali sebuah perjalanan menuju suatu tempat |
Pagi itu Bojonegoro cerah. Matahari menembus sela-sela ventilasi rumah, menyinari ruangan yang mulai kosong sejak hari-hari sebelumnya. Koper ditumpuk, kardus ditutup rapat, barang-barang disusun untuk dinaikkan ke truk yang menunggu. Ada suara tergesa, ada langkah orang yang sibuk, namun anehnya, rumah terasa sunyi.
Sinar pagi menyilaukan mata, tetapi di balik sinar itu, ada perasaan berat yang tak bisa dihindari.
Setelah semua disiapkan, siang hari saya berangkat menuju Cepu, Jawa Tengah, sekitar ±40 kilometer dari Bojonegoro, untuk mengambil barang penting yang tertinggal. Perjalanan menuju Cepu terasa biasa saja: langit masih cerah, jalanan kering dan waktu terasa berjalan lambat. Tidak ada tanda bahwa hari itu akan menjadi salah satu hari paling emosional dalam hidup.
Barang berhasil ditemukan. Tidak ada yang tertinggal kecuali kenangan. Dan ketika kendaraan berputar kembali ke Bojonegoro, saya merasakan sesuatu yang asing: sebuah perasaan bahwa perjalanan kembali ini mungkin adalah yang terakhir. Saya menatap jalan yang sudah saya lalui bertahun-tahun, dan ada getaran yang sulit dijelaskan.
Sesampainya di Bojonegoro, hari masih siang dan langit tetap cerah. Proses memuat barang terakhir ke truk dimulai. Suara logam beradu, suara tali diikat, suara pintu ditutup. Bunyi-bunyi biasa, tetapi hari itu terdengar seperti upacara perpisahan.
Dan ketika semua siap, saya naik ke kendaraan, menatap rumah sekali lagi dengan cepat: tanpa berani berlama-lama. Karena jika saya berhenti terlalu lama, saya mungkin tidak akan mampu pergi. Kadang keberanian terlihat seperti langkah kecil, tetapi terasa seperti pecahnya dada.
2. Kenangan yang Tidak Pernah Layu
![]() |
| Ilustrasi: memainkan nada di tepian Bengawan Solo |
Bojonegoro bukan sekadar titik di peta. Ia adalah rumah. Ia adalah ruang tumbuh. Ia adalah tempat di mana saya menemukan sahabat-sahabat terbaik, terutama mereka yang bersama saya berbagi hobi yang sama: musik.
Kami menghabiskan banyak malam dengan gitar, keyboard dan suara-suara yang menyatu dalam harmoni. Lagu-lagu menjadi pelarian dari kenyataan, menjadi pelumas bagi hati yang kering, menjadi jembatan untuk saling memahami tanpa banyak bicara. Musik menyatukan kami dalam cara yang tidak dapat dijelaskan oleh logika.
Namun di balik melodi, ada petikan luka. Ada amanat terakhir dari Almarhum Abah, yang ingin saya tetap tinggal di Bojonegoro. Pesan yang berat, pesan yang ingin saya penuhi, pesan yang terasa seperti janji yang tak boleh dilanggar. Tapi keadaan keluarga yang tidak lagi utuh, kebutuhan untuk bertahan hidup dan keinginan untuk mandiri memaksa saya mengambil keputusan yang berseberangan.
Meninggalkan bukan karena tidak cinta. Tapi karena ingin bertahan.
3. Perjalanan Menuju Nganjuk: Hutan, Hujan dan Hati yang Retak
![]() |
| Ilustrasi: suasana sendu terasa dalam sebuah perjalanan |
Langit tiba-tiba berubah ketika kendaraan melaju meninggalkan kota. Separuh perjalanan masih terang, namun setelah memasuki kawasan hutan di wilayah Kecamatan Temayang, Bojonegoro, hujan turun tiba-tiba. Tetesannya keras, menampar kaca dengan ritme tak beraturan. Seolah alam ikut merasakan getaran di dada saya.
Jalanan mulai gelap. Daun-daun basah menunduk di sisi jalan dan kabut tipis muncul di sela pepohonan. Dari balik jendela, panorama itu terasa seperti lukisan melankolis: indah sekaligus menyakitkan. Dan di tengah hujan yang deras, tanpa suara, saya menangis.
Ada sesuatu tentang perjalanan itu yang terasa seperti adegan film yang berjalan lambat. Bau tanah basah menembus masuk ke dalam kabin mobil: aroma yang entah mengapa menenangkan. Seperti oase untuk hati yang sedang gersang oleh ketidakpastian.
Dan pertanyaan-pertanyaan itu, seperti gemuruh di kepala:
“Apakah mungkin aku akan selamanya tinggal di kota yang kutuju? Ataukah ini hanya batu loncatan untuk kembali ke Bojonegoro suatu hari nanti? Apakah aku akan menemukan rumah baru?”
Jawabannya belum ada. Tapi perjalanan tetap berjalan.
4. Tiba di Nganjuk: Akrab dan Asing dalam Satu Nafas
![]() |
| Ilustrasi: seberkas kenangan dalam sebuah perjalanan |
Saat kendaraan akhirnya memasuki wilayah Nganjuk, saya merasakan perasaan yang sangat aneh: campuran antara kenyamanan dan keterasingan. Kota ini bukan benar-benar asing. Di masa kecil, Almarhum Abah sering mengajakku berkunjung ke rumah saudara dan sahabat-sahabatnya di sini. Beberapa jalan terasa familiar. Beberapa sudut membawa ingatan samar.
Namun sekarang, banyak pintu yang dulu terbuka telah tertutup. Banyak tangan yang dulu menyambut telah kembali ke tanah. Dan saya benar-benar memulai dari nol.
Tidak ada jaminan. Tidak ada pegangan. Tidak ada yang pasti.
Namun satu hal saya rasakan: Nganjuk menyambut dengan hangat. Warga yang ramah, biaya hidup yang tak terlalu mahal, suasana kekeluargaan yang mudah tumbuh: semua menjadi angin lembut bagi dada yang sesak. Seakan kota itu berkata:
“Selamat datang. Kau tidak sendirian.”
Dan untuk pertama kalinya hari itu, saya tersenyum.
5. Pelajaran dari Sebuah Hijrah
![]() |
| Ilustrasi: suasana di kaki gunung Wilis di Nganjuk |
Waktu berjalan. Tahun berganti. Dan saya menyadari sesuatu:
Hijrah bukan tentang meninggalkan. Hijrah adalah tentang bertemu dengan versi diri yang baru.
Saya belajar bahwa kesulitan bukan hukuman, tetapi proses. Bahwa kegagalan bukan akhir, tetapi fondasi. Bahwa tangis bukan kelemahan, tetapi kekuatan.
Saya belajar menjadi perintis, bukan pewaris.
Pewaris menerima sesuatu yang sudah ada. Perintis membangun dari ketiadaan.
Perintis jatuh, berdarah-darah, jatuh lagi, bangkit lagi dan Tuhan menjadi satu-satunya saksi yang mengerti. Dan pada titik itulah saya memahami:
Ketika dunia tak mengeluarkan suara, jangan pernah berhenti bernyanyi. Karena suara itu bukan untuk dunia. Itu untuk jiwa yang menolak menyerah.
Dan saya bersyukur telah memilih pergi.
6. Kesimpulan
![]() |
| Ilustrasi: suasana pagi hari di wilayah dusun Beduk |
Memoar ini bukan hanya cerita tentang perpindahan fisik dari Bojonegoro ke Nganjuk. Ini adalah catatan tentang perjalanan batin seseorang yang memilih melangkah meski takut, memilih berdiri meski rapuh, memilih hidup meski terluka.
Hijrah mengajarkan bahwa:
Umur memang menentukan kedewasaan seseorang, tetapi kita tidak perlu menunggu umur untuk menjadi dewasa.
Pada akhirnya, hidup bukan tentang tempat di mana kita berada, tetapi tentang siapa kita menjadi setelah sampai di sana.
Pertanyaan untuk Anda: jika hari ini Anda berdiri di persimpangan hidup (tinggal atau melangkah, diam atau bergerak, bertahan atau berjuang) ke arah mana Anda akan melangkah dan apa yang membuat Anda yakin ke sana?






Post a Comment