Mengapa Puisi Lama Tak Pernah Mati?

Ali Zain Aljufri - Di suatu sore, di sebuah desa tua, terdengar suara lembut seorang kakek yang sedang melantunkan gurindam. Suaranya pelan, namun terdengar seperti sebuah do’a.
“Barang siapa mengenal yang empat, maka ia itulah orang yang ma’rifat.”
Di beranda rumah panggungnya, ia diapit oleh cucunya yang masih duduk di bangku sekolah. Kau masih heran? Di alam subyektifmu, kalimat itu terasa asing. Di dalam, ada sesuatu yang menyentuh. Itu sesuatu yang masih samar, hati berisi kata-kata yang tak dapat diucapkan; ada sebuah pintu, yang perlahan terbuka, di sebuah ruangan yang gelap.
Ada keajaiban puisi lama yang bernafas. Ini tak hanya hidup dalam lembaran naskah kuno, namun juga dalam dada-dada manusia yang masih ingin mendengar suara-suara masa silam.
1. Puisi Lama: Nyanyian Awal dari Lidah Bangsa
![]() |
| Ilustrasi: sebelum Indonesia merdeka di Jawa |
Sebelum huruf latin menghiasi buku pelajaran, sebelum mikrofon menggema di aula sastra, masyarakat nusantara lebih dulu menulis rasa dalam bentuk yang kita sebut puisi lama, pantun, gurindam, syair, seloka; semuanya lahir bukan untuk sekadar hiburan, namun sebagai cermin jiwa kolektif. Puisi lama bukan hanya karya sastra klasik Indonesia, melainkan juga warisan budaya yang merekam nilai-nilai kehidupan: cinta, kesetiaan, moralitas, bahkan politik dan spiritualitas. Itulah bentuk komunikasi terdalam antara manusia dan zamannya.
Di masa lalu, ketika tak semua orang bisa membaca dan menulis, puisi lama menjadi cara paling indah untuk menurunkan pengetahuan. Dari lisan ke lisan, ia berpindah seperti api yang tak padam.
2. Jantung Emosi yang Tak Pernah Layu
![]() |
| Ilustrasi: gadis Melayu membaca puisi |
Mengapa puisi lama tetap hidup? Karena ia berbicara dengan bahasa rasa. Kata-katanya, mungkin tua, namun emosinya tak berumur. Siapa yang tak tersentuh dengan keindahan pantun cinta Melayu?
Pulau pandan jauh di tengah,
gunung daik bercabang tiga.
Hancur badan dikandung tanah,
budi yang baik dikenang juga.
Di situ ada keindahan, ada kebijaksanaan, ada pengingat halus tentang moralitas dan cinta sejati. Puisi lama meneguhkan bahwa nilai-nilai luhur tidak lapuk oleh zaman.
Ketika pelajar dan mahasiswa masa kini tenggelam dalam arus teknologi dan budaya instan, membaca puisi lama seperti menemukan kembali denyut asal kehidupan, perlahan, tapi jujur. Ia mengajarkan bahwa kata bukan hanya suara, tetapi rasa yang diukir dengan jiwa.
3. Jembatan Antara Masa Lalu dan Masa Kini
![]() |
| Ilustrasi: belajar sastra di zaman sekarang |
Puisi lama tak berhenti di masa lampau. Ia menjelma ulang di banyak tempat. Lihatlah bagaimana pelajar kini menulis pantun di media sosial atau bagaimana mahasiswa sastra meneliti syair Syaikh Hamzah Fansuri dan gurindam Raja Ali Haji dengan mata berbinar. Itulah bukti bahwa puisi lama bukan fosil, tapi jembatan sejarah. Ia menghubungkan manusia modern dengan akar budayanya sendiri.
Menggali gurindam, kita mengingatkan diri tentang etika. Menulis pantun, kita berlatih menata pikiran harmoni. Menganalisis syair, kita menyelami kebijaksanaan lama yang sering kali luput, dalam hidup cepat di zaman ini. Puisi lama adalah budaya dan menegaskan: “Aku masih di sini, menemanimu belajar menjadi manusia.”
4. Sastra Klasik Indonesia: Cermin Jiwa Bangsa
![]() |
| Ilustrasi: pujangga Jawa sedang mencari inspirasi |
Sastra klasik Indonesia adalah cerminan dari perjalanan panjang pembentukan identitas nasional. Bahkan sebelum istilah “Indonesia” ada, orang-orang yang tinggal di pulau-pulau ini telah menulis tentang cinta tanah air, keindahan tanah dan nilai-nilai moral yang terkandung dalam tanah melalui puisi.
Dari Syair Perahu karya Syaikh Hamzah Fansuri hingga Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji, puisi awal meletakkan pilar spiritual dan intelektual yang menjadi pengaruh bagi kita hari ini. Penyair-penyair awal ini bukan hanya penulis; mereka adalah pemikir yang menenun bahasa menjadi kebijaksanaan.
Siswa yang mempelajari karya sastra ini tidak hanya belajar sastra, tetapi juga belajar untuk menjadi orang Indonesia yang sadar akan akar sejarah mereka. Ini karena siapa pun yang memahami puisi lama, memahami bagaimana bangsa ini berpikir, merasakan dan bermimpi di masa lalu.
5. Daya Hidup Puisi Lama di Era Digital
![]() |
| Ilustrasi: konten kreator sedang beradu pantun |
“Apakah puisi lama masih punya tempat di zaman TikTok?” Pertanyaan itu sering muncul. Jawabannya: ya, dan bahkan semakin kuat. Mengapa? Karena justru di tengah hiruk-pikuk modernitas, manusia rindu sesuatu yang tulus dan bermakna.
Kita lihat banyak konten kreator muda mulai membacakan pantun dan syair dengan gaya modern. Mereka mencampurinya dengan musik, visual, bahkan animasi. Hasilnya? Puisi lama menjadi viral.
Fenomena ini menandakan satu hal penting: puisi lama tak pernah mati karena ia fleksibel. Ia bisa beradaptasi, tapi tidak kehilangan jiwa. Ia dapat hidup dalam format digital tanpa kehilangan wibawa klasiknya.
Bagi pecinta sastra klasik, ini adalah bukti bahwa keindahan tidak pernah kehilangan daya tarik; hanya berganti bentuk
6. Menyentuh Rasa, Menggugah Kesadaran
![]() |
| Ilustrasi: seorang pemuda sedang menghayati karya sastra lama |
Puisi lama mengajarkan kita cara berbicara dengan hati. Tidak hanya menyusun rima, dia juga mengatur irama batin. Dan ketika mahasiswa membaca syair sufistik, dia juga berlatih menyelam ke makna yang jauh lebih dalam. Dan dalam puisi klasik, ketika pecinta sastra klasik menelusuri kembali karya lama, ia sedang meneguhkan pula ikatan sejarah dengan emosi.
Mengapa puisi lama lebih dari sekadar teks yang dibaca? Inilah pengalaman, dalam setiap bait, hikmah yang diajarkan puisi lama melampaui waktu. Ada puisi lama yang mengajarkan kesabaran, cinta dan kebijaksanaan yang melampaui waktu.
7. Warisan Budaya yang Menyelamatkan Identitas
![]() |
| Ilustrasi: pemuda dan pemudi harapan bangsa |
Di tengah globalisasi yang sering menyeragamkan selera dan bahasa, puisi lama berdiri teguh sebagai penjaga identitas bangsa. Ia adalah warisan budaya yang menyelamatkan kita dari kehilangan jati diri.
Ketika generasi muda membaca dan menulis kembali puisi lama, mereka sedang menjaga pintu masa lalu tetap terbuka. Mereka sedang memastikan bahwa nilai-nilai luhur tidak hanya tersimpan di museum, tetapi hidup dalam percakapan sehari-hari.
Puisi lama memberi kita alasan untuk bangga. Ia menunjukkan bahwa bangsa ini telah lama memahami estetika, moral, dan spiritualitas; jauh sebelum istilah “literasi” diperkenalkan, dan jauh sebelum kita membaca puisi bercorak romantisisme.
8. Menghidupkan Kembali Nafas Puisi Lama
![]() |
| Ilustrasi: sekelompok mahasiswa sedang belajar bersama |
Bagaimana kita, generasi sekarang, bisa memastikan napas dalam-dalam itu terus mengalir. Metodenya lugas namun signifikan.
- Selami puisi lama bukan hanya karena itu pelajaran sekolah, tapi karena itu seperti surat yang menyentuh hati dari sejarah
- Cobalah tulis pantun atau gurindam dengan topik modern seperti cinta, lingkungan, atau pendidikan
- Mari ngobrol puisi lawas di media sosial. Memberi ruang bagi puisi-puisi kuno di masa sekarang membantu menjaga semangat nasional kita tetap hidup.
Semakin banyak orang melakukannya, semakin lama keindahannya akan bertahan.
9. Kesimpulan: Abadi Karena Cita Rasa
![]() |
| Ilustrasi: seorang kakek sedang bercerita di hadapan beberapa pelajar |
Puisi lama tetap hidup karena berakar pada emosi yang tak pernah pudar. Dia berbincang tentang cinta, etika dan wawasan yang selalu on point, tak peduli waktu atau tempat. Dia melihat semuanya dan mengajarkan pelajaran hidup. Ketika para pelajar dan penikmat sastra klasik Indonesia berpegang pada puisi-puisi lama, maka muncul-lah awal yang baru.
Hal ini bukan sekedar barang lama lagi; ibarat nafas segar yang menghubungkan apa yang terjadi sebelumnya dengan apa yang akan datang. Dan mungkin, di lain hari, seorang anak akan datang dengan mata cerah, mendengarkan gurindam dan melihat kemegahan yang sama seperti yang dilakukan kakeknya.
Puisi lama hidup selamanya. Maka, pertanyaannya: Apakah kamu siap mendengarkan kembali suara masa silam yang masih berbisik di antara bait-baitnya?









Post a Comment