Pesantren dan Krisis Ta’dib Dunia Modern

Ali Zain Aljufri - Suatu sore di bulan Jumadil Awal, di sebuah pesantren tua di kaki Gunung Muria, lantunan Ihya’ Ulumuddin yang memenuhi udara. Di antara para santri yang duduk bersila, seorang kiai sepuh menjelaskan arti ikhlas dengan suara pelan namun tegas. Tidak ada layar proyektor. Tidak ada mikrofon. Hanya cahaya lampu minyak dan kesunyian yang khusyuk.
Namun dari titik sederhana itu, muncullah generasi baru yang ditakdirkan untuk tumbuh menjadi pemimpin, pemikir dan pelindung moral bangsa.
Itulah wajah pesantren tertua di nusantara, yang diam-diam menjadi pusat otak dunia Islam Timur. Sama seperti Ahlussuffah di masa Rasūlullāh ﷺ, para santri ini cukup membumi, namun memiliki mimpi besar: mereka ingin mempelajari berbagai hal untuk membantu masyarakat berkembang.
Kini, di tengah pesatnya laju globalisasi dan krisis identitas, warisan pesantren tidak hanya sekedar kitab kuning dan cara mengaji yang benar. Namun merupakan cerminan karakter Islam yang hidup: moderat, lemah lembut dan berbasis kearifan lokal; Islam yang membumi namun membumbung ke langit.
1. Dari Ahlussuffah dan Hakikat Spiritual Kehidupan Pesantren
![]() |
| Ilustrasi: Kehidupan masyarakat zaman Nabi ﷺ |
Untuk memahami pesantren, kita perlu kembali ke Madinah pada abad ke 7. Di serambi Masjid Nabawi, berdiri Ahlussuffah; sekelompok sahabat miskin namun berilmu, yang mengabdikan hidupnya untuk mencari ilmu dan mendekatkan diri kepada Allah. Mereka berduyun-duyun ke masjid, hampir tidak menyentuh makanan mereka, tetapi akhirnya menjadi pelindung spiritual Islam yang cerdas ketika Rasūlullāh ﷺ masih ada.
Model ini memicu terciptanya tradisi pesantren. Bagi para pendiri awal, pesantren lebih dari sekedar tempat belajar agama; semua ini merupakan surga meditasi tempat orang membentuk jiwa dan pikiran mereka Santri adalah pewaris Ahlussuffah: hidup sederhana, namun tetap menjaga ghirah keilmuan (jiwa intelektual) yang membara.
Saat ini pesantren menonjol dalam pendidikan Islam dengan memadukan ilmu, akhlak dan ketaqwaan. Tidak hanya melahirkan ulama’, namun juga membentuk individu yang mempunyai nilai-nilai keislaman; jujur, rendah hati dan dengan kecintaan yang mendalam terhadap pengetahuan dunia.
2. Dari Dayah ke Pondok: Perkembangan Pondok Pesantren di Nusantara
![]() |
| Ilustrasi: kolase kehidupan Pesantren di wilayah Nusantara |
Tradisi pendidikan Islam di nusantara telah berakar sejak abad ke-13, ketika kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudra Pasai, Demak dan Giri Kedaton mulai berkembang.
Di Aceh dikenal istilah Dayah; di Minangkabau disebut Surau; di Jawa disebut Pesantren; sedangkan di Sulawesi dan Lombok dikenal dengan nama Pondok.
Setiap orang punya bakatnya masing-masing, tapi mereka semua punya ide inti yang sama: ta’dib; ini tentang mengajarkan sopan santun dan kecerdasan bersama-sama. Sistem ini mencerminkan akar Islam di nusantara: perpaduan Islam dengan tradisi lokal, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip universal.
Kiai menjadi tokoh sentral, tidak hanya sebagai guru, namun juga sebagai teladan spiritual dan sosial. Dalam pembelajaran Islam, ikatan antara pemimpin spiritual dan murid bukan sekedar hubungan guru-murid biasa; itu adalah hubungan spiritual yang mendalam. Seorang kiai tidak sekadar mentransfer ilmu, namun menyalurkan berkah (barokah).
Dan itulah realita yang dihadapi pesantren; mereka mempunyai sesuatu yang tidak bisa ditandingi oleh sekolah modern.
3. Pesantren Berperan Besar dalam Membentuk Pemikir Islam Indonesia
![]() |
| Ilustrasi: Dua tokoh ulama’ Nusantara |
Sepanjang sejarah, pesantren telah melahirkan sederet pemikir cemerlang yang telah menempatkan Islam Indonesia di peta global.
Mulai dari Syaikh Nawawi al-Bantani (ulama’ asal Banten yang menjadi guru di Masjidil Haram) hingga Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama’, dikenal dengan ajaran toleransi dan moderasi yang bergema di seluruh dunia.
Beliau-beliau ini bukan hanya ahli hukum tapi juga pemikir besar mengenai masyarakat. Mereka melakukan dialog dan membangun kolaborasi ilmiah internasional. Mereka menunjukkan bahwa pendidikan Islam lebih dari sekedar ritual ibadah, berkembang menjadi gerakan intelektual seumur hidup.
Dari pesantren-pesantren di nusantara muncul ide unik: Islam itu tentang merangkul dan membersihkan budaya, bukan membenturkannya. Makanya Islam di Indonesia berkembang secara damai, menyebar melalui seni, sastra dan budaya, bukan melalui konflik-konflik besar.
Model dakwah yang banyak mendapat perhatian para ulama’ di seluruh dunia. Pesantren benar-benar mewujudkan semangat keislaman, memadukan pemikiran yang mendalam, keyakinan yang tulus dan tradisi budaya yang kaya.
4. Karakter Islam Pesantren: Menyatukan Akal, Hati, dan Budaya
![]() |
| Ilustrasi: suasana sekolah modern di lingkungan Pesantren |
Jika dunia modern memisahkan sains dan moral, maka pesantren justru mempertemukan keduanya. Di sinilah identitas keislaman yang khas berakar.
Ilmu tidak akan terlihat nyata jika tidak dikaitkan dengan akhlak dan ibadah terasa hampa tanpanya. Kiai menanamkan prinsip al-‘ilmu bila adabin ka an-nari bila hatabin; Ilmu tanpa adab ibarat api tanpa kayu bakar.
Nilai ini menjadikan peserta didik tidak sekedar cerdas, namun juga berkelakuan baik. Dalam dunia globalisasi, gagasan ini nampaknya semakin penting. Ketika dunia semakin terpecah belah dan ekstrim, pesantren menunjukkan sisi damai dari Islam.
Islam yang menghormati keberagaman, menghindari agresi dan terlibat dalam percakapan budaya. Negara ini memiliki nuansa Islami; Islam berpegang pada nilai-nilai inti namun menyesuaikan cara-caranya.
5. Sirah Nabawiyah dan Nafas Pendidikan
![]() |
| Ilustrasi: masyarakat tempo dulu belajar Shirah Nabawiyah |
Pesantren sangat dekat dengan ajaran Shirah Nabawiyah. Setiap kali kita menyelami fiqih, tauhid dan tasawuf, kita selalu mengaitkannya kembali dengan kisah Rasūlullāh ﷺ, bukan sekedar sebagai pelajaran akhlak namun sebagai cara untuk mengajar.
Ketika para pelajar mendalami Ta’limul Muta’allim, mereka benar-benar masuk ke dalam semangat para sahabat Nabi: menunjukkan rasa hormat kepada gurunya, mencintai ilmu dan mengaitkan studinya dengan keimanannya.
Ketika mereka menyelami Ihya’ Ulumuddin, mereka mengikuti perjalanan para sufi, memadukan akal dengan rasa. Ketika mereka menyelami Shirah Nabawiyah, mereka menemukan bagaimana Nabi meletakkan dasar bagi peradaban, bukan melalui kekerasan, namun dengan etika yang kuat.
Pesantren sedikit banyak mencerminkan Madinah. Di dalamnya ada ukhuwah, ada musyawarah, ada kesederhanaan dan ada cita-cita besar: mencetak manusia yang berilmu dan berjiwa seperti Rasūlullāh ﷺ.
6. Dari Lumbung Ilmu Pengetahuan Hingga Ruang Publik Dunia
![]() |
| Ilustrasi: diskusi pelajar di sebuah sekolah Islam |
Namun, di masa yang serba teknologi ini, pesantren menghadapi tantangan yang cukup berat. Banyak generasi muda yang mulai kehilangan kontak dengan warisan sejarah mereka.
Pesantren terkadang dipandang ketinggalan jaman atau sudah tidak relevan lagi. Sebenarnya, jika ditelusuri lebih dalam, pesantren memang mempunyai potensi besar dalam membentuk peradaban.
Bayangkan: Sistem halaqah yang fleksibel, kini dijadikan metode pembelajaran di universitas-universitas Barat.
Gagasan untuk mendapatkan hikmah sebagai berkah kini menyulut api perubahan dalam cara kita berpikir tentang pembelajaran. Metode ta’dib yang menyeimbangkan aspek kognitif dan moral kini menjadi topik hangat di kalangan ulama’ pendidikan karakter global.
Pesantren dengan warisan intelektualnya yang kaya hendaknya tampil di kancah dunia sebagai model pendidikan Islam yang holistik.
7. Warisan Islam Nusantara: Dari Cara Jadul hingga Masyarakat Modern
![]() |
| Ilustrasi: kunjungan seorang pejabat di sebuah Pesantren Alam |
Akar Islam nusantara melalui teks-teks kuno dan upacara adat. Ekosistem nilai inilah yang membentuk karakter bangsa kita. Mulai dari cara seorang kiai menyapa santrinya, hingga tradisi pembacaan kitab kuning, semuanya mengandung filosofi mendalam tentang hubungan antara ilmu, guru dan Tuhan.
Pesantren mengajarkan bahwa Anda tidak perlu meniru Barat untuk mencapai kemajuan, dan Anda tidak perlu membuang tradisi untuk setia pada Islam.
Hal ini mewakili pendekatan peradaban yang seimbang; perpaduan keyakinan dan logika, perpaduan sastra dan kehidupan Melalui pesantren yang tak terhitung jumlahnya di seluruh wilayah Indonesia, nilai-nilai ini terus berkembang dan menyinari masyarakat. Dari pesantren kecil di pelosok Jawa hingga pesantren yang modern dan memiliki jangkauan global, semuanya memiliki sentimen yang sama: Islam yang mengajarkan dan menenangkan.
8. Pesantren dan Tantangan Intelektual Saat Ini
![]() |
| Ilustrasi: seorang Ustadz sedang mengawasi ujian di salah satu Pesantren Alam |
Saat ini dunia sedang mencari jalan baru. Krisis spiritual menghantam masyarakat global dengan keras. Ilmu pengetahuan bergerak cepat, namun sepertinya kita kehilangan bagian kebijaksanaannya. Di sinilah pesantren bisa berbicara.
Bukan dengan retorika, tapi dengan memberi contoh. Bukan dengan teori, tapi dengan praktik.
Pesantren menunjukkan bahwa pembelajaran agama Islam dapat menjadikan manusia berpikir jernih dan memiliki sisi spiritual yang mendalam. Namun untuk memastikan warisan ini tetap kokoh, kita memerlukan keberanian: keberanian untuk memberikan kehidupan baru ke dalam tradisi, memberikan ilmu baru dari pesantren dan membagikannya kepada dunia dalam bahasa yang kita semua gunakan.
Kita perlu menyatukan para pelajar Islam, cendekiawan dan pakar budaya untuk memastikan kekayaan sejarah Islam di NKRI tersebut tidak hanya sekedar kenangan indah namun juga meletakkan dasar bagi masyarakat yang segar dan berkembang.
9. Kesimpulan: Menyalakan Kembali Lentera Ahlussuffah
![]() |
| Ilustrasi: beberapa pelajar sekolah Islam sedang berdiskusi bersama Guru |
Pesantren lebih dari sekedar tempat belajar. Gerakan ini lahir dari rahim sejarah, berkembang dengan budaya dan mencerahkan dunia dengan kebijaksanaan dan etika.
Dari ahlussuffah di Madinah hingga santri di pesantren di seluruh Nusantara, jelas bahwa menuntut ilmu adalah bentuk pengabdian yang paling utama. Pertanyaannya adalah apakah dunia sudah siap belajar dari pesantren?









Post a Comment