Islam merupakan
agama yang lengkap. Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan
Allah sebagai Tuhannya, melainkan juga mengatur hubungan sesama manusia.
Melalui Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, Allah Subhannahu Wa Ta’ala
mengingatkan manusia menjaga kesucian diri. Selain itu, Allah SWT memerintahkan
manusia menjaga kesucian harta kekayaannya agar tetap bersih, tidak mencederai
hak agama dan orang lain. Hal ini pernah dituturkan Abu Humaid As-Saidi.
Suatu hari, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menugaskan seorang lelaki
dari suku As’ad yang bernama Ibnu Luthbiah (ada yang menyebutnya Ibn
Lathabiyah) untuk memungut dan mengelola zakat Bani Sulaim. Ketika
ia telah tiba kembali dan menghitungnya, ia berkata kepada Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam:
“Ini adalah
pungutan zakat yang bisa aku serahkan kepadamu, sedangkan ini adalah hadiah
yang diberikan kepadaku.”
Mendengar
laporan itu, spontan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berdiri di atas
mimbar kemudian memanjatkan pujian kepada Allah, selanjutnya beliau bersabda:
“Apakah yang
terjadi dengan seorang petugas yang aku utus, kemudian dia kembali dengan
mengatakan: Ini aku serahkan kepadamu dan ini dihadiahkan kepadaku! Mengapa dia
tidak duduk saja di rumah bapak atau ibunya sehingga dia bisa melihat apakah
dia akan diberi hadiah atau tidak. Demi Tuhan Yang jiwa Muhammad berada di
tangan-Nya! Tidak seorang pun dari kalian yang mengambil sebagian dari hadiah
itu kecuali pada hari kiamat nanti dia akan datang menjumpai Allah dengan
memikul seekor unta yang mendengus atau seekor sapi yang juga mendengus atau
seekor kambing yang mengembik.”
Kemudian beliau
mengangkat kedua tangannya hingga terlihat warna putih ketiaknya seraya
mengatakan:
“Ya Allah,
bukankah aku telah menyampaikan apa yang kulihat dengan mataku dan kudengar
dengan kedua telingaku.” Beliau mengulangi hingga dua kali. (HR Muslim No 3413
dan Abu Dawud).
Kisah yang
tertulis dalam hadits ini memiliki hikmah yang cukup mendalam. Seorang petugas
dan pejabat diharamkan mengambil hadiah yang diberikan kepadanya, terutama saat
ia bertugas. Ia akan dilaknat Allah di Hari Kiamat. Sungguh, hadits ini sangat
dekat dengan masalah korupsi yang menggurita di negeri ini. Imam Ibnu Hajar
al-Asqalaniy dalam Fathul Baari’, Kitabul Hibah, bab
Orang Yang Tidak Menerima Hadiah Karena Sebab Tertentu, menjelaskan, Nabi
mencela perbuatan Ibnu al-Latabiyah yang menerima hadiah itu karena
kedudukannya sebagai petugas.
Kemudian
kalimat “Mengapa engkau tidak duduk saja di rumah bapak ibumu?” memberi
makna sekiranya dia menerima hadiah dalam kondisi seperti itu (bukan sebagai
petugas atau pejabat pemerintah, tapi cuma duduk-duduk di rumah orang tuanya)
maka hukumnya tidak apa-apa (untuk menerima hadiah). Dengan kata lain, ia tidak
akan mendapatkan hadiah itu manakala ia tidak diberi tugas sebagai tenaga
pemungut zakat atau tidak sebagai pejabat. Seandainya dia diam di rumahnya dan
tidak memangku jabatan tertentu, tentu tidak ada hadiah untuknya.
Karena itu, dia tidak layak menghalalkannya hanya karena barang itu sampai
kepadanya sebagai hadiah. Imam An-Nawawi malah menyimpulkan, hadits ini
sebenarnya ingin mengatakan hadiah untuk pegawai atau pejabat itu haram dan
merupakan sebuah pengkhianatan. Sebab, pegawai itu mengkhianati wilayah dan
amanahnya. Dalam konteks kekinian, apa yang dikerjakan oleh Ibn al-Lathabiyah
itu sesungguhnya marak terjadi. Seorang pejabat (dan tidak harus seorang
petugas pajak atau auditor) melakukan kunjungan kerja ke daerah.
Saat hendak pulang, ia dihadiahi sesuatu atau diberi uang transportasi tambahan
(meski ia sendiri sudah dapat uang perjalanan dinas dari kas negara) atau dihadiahi
cinderamata yang cukup mahal, yang sering kali dianggap sesuatu yang lumrah di
mata pejabat yang mendapatkannya. Padahal, ia tidak akan mendapatkan itu semua
seandainya ia tidak memangku jabatan yang ada di pundaknya. Tidak jauh beda
ketika ia-meski sedang duduk-duduk di rumah-lalu ada yang memberinya hadiah.
Jabatan adalah kemuliaan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang
dikehendaki. Jabatan sebagai amanah tentu saja harus dijaga oleh yang
mengembannya. Dan, sejak lima belas abad silam, Rasul mengingatkan agar jabatan
tidak dinodai hal-hal kotor, seperti korupsi dan kolusi. Sekarang, tergantung
pada umatnya, apakah mau mengikuti dan meneladani sunah Rasul itu atau tidak?
Atau, jangan-jangan umat Islam lebih tertarik pada gemerlapnya dunia daripada
keagungan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?
Demikianlah
sedikit ulasan saya mengenai “Mulianya Jabatan”,
semoga ini bisa menjadi renungan bagi kita semua, terutama sahabat saya yang
akan mewakili rakyat dalam Pemilu sebentar lagi. Wallahua’lam bi showwaf!
Title : Mulianya Jabatan
Description : Islam merupakan agama yang lengkap. Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Allah sebagai Tuhannya, melainkan juga mengat...