Al-Burdah menurut etimologi banyak
mengandung arti, antara lain: Baju
(jubah) kebesaran khalifah yang menjadi salah satu atribut khalifah. Dengan
atribut burdah ini, seorang khalifah bias dibedakan dengan pejabat negara
lainnya, teman-teman dan rakyatnya.
Dan yang kedua adalah nama dari qasidah yang
dipersembahkan kepada Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam yang digubah oleh Ka’ab
bin Zuhair bin Abi Salma. Pada mulanya, burdah (dalam pengertian
jubah) ini adalah milik Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang
diberikan kepada Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma, seorang penyair
terkenal Muhadramin (penyair dua zaman: Jahiliyah dan Islam). Burdah yang telah
menjadi milik keluarga Ka’ab tersebut akhirnya dibeli oleh Khalifah
Mu’awiyah bin Abi Sofyan seharga dua puluh ribu dirham, dan kemudian dibeli
lagi. oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dari Dinasti Abbasiyah
dengan harga empat puluh ribu dirham. Oleh khalifah, burdah itu hanya dipakai
pada setiap shalat Id
dan diteruskan secara turun temurun.
Riwayat pemberian burdah oleh Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Ka’ab bin Zuhair bermula dari Ka’ab
yang menggubah syair yang senantiasa menjelek-jelekkan Nabi dan para sahabat.
Karena merasa terancam jiwanya, ia lari bersembunyi untuk menghindari luapan
amarah para sahabat. Ketika terjadi penaklukan Kota Makkah, saudara Ka’ab
yang bernama Bujair bin Zuhair mengirm surat kepadanya, yang isinya
antara lain anjuran agar Ka’ab pulang dan menghadap Rasulullah, karena
Rasulullah tidak akan membunuh orang yang kembali (bertobat). Setelah memahami
isi surat itu, ia berniat pulang kembali ke rumahnya dan bertobat.
Kemudian Ka’ab berangkat menuju
Madinah. Melalui perantara
Abu Bakar
As Siddiq,
di sana ia menyerahkan diri kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ka’ab memperoleh sambutan penghormatan dari Rasulullah. Begitu besarnya
rasa hormat yang diberikan kepada Ka’ab, sampai-sampai Rasulullah
melepaskan burdahnya dan memberikannya kepada Ka’ab.
Ka’ab
kemudian menggubah qasidah
yang terkenal dengan sebutan Banat Su’ad
(Putri-putri Su’ad), terdiri atas 59 bait (puisi). Qasidah ini disebut pula
dengan Qasidah Burdah. Qasidah itu ditulis dengan indahnya oleh kaligrafer Hasyim
Muhammad al-Baghdadi di dalam kitab kaligrafi-nya, Qawaid al-Khat
al-Arabi.
Di samping itu, ada sebab-sebab khusus
dikarangnya Qasidah Burdah itu, yaitu ketika al-Bushiri menderita sakit
lumpuh, sehingga ia tidak dapat bangun dari tempat tidurnya, maka dibuatnya
syair-syair yang berisi pujian kepada Nabi, dengan maksud memohon syafa’afnya.
Di dalam tidurnya, ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam. Di mana Nabi mengusap wajah al-Bushiri, kemudian Nabi
melepaskan jubahnya dan mengenakannya ke tubuh al-Bushiri, dan saat ia
bangun dari mimpinya, seketika itu juga ia sembuh dari penyakitnya.
Pemikiran-Pemikiran Bushiri dalam
Al-Burdah dimulai dengan nasib, yaitu ungkapan rasa pilu atas dukacita yang
dialami penyair dan orang yang dekat dengannya, yaitu tetangganya di Dzu Salam,
Sudah menjadi kelaziman bagi para penyair Arab klasik dalam mengawali karya
syairnya selalu merujuk pada tempat di mana ia memperoleh kenangan mendalam dalam
hidupnya, khususnya kampung halamannya. Inilah nasib yang diungkapkan Bushiri
pada awal bait:
اَمِنْ تَذَكُرٍجِيرَنِينْ بِذِ السَّلَامِ
مَازَجْتَدَمْ عَنْدَرَ مِنْ مُقْلَتِنْ
بِدَامِ؟
Amin tadzakurin jiranin bi Dzi Salami
Mazajta dam ‘an jara min muqlatin bi
dami?
Tidakkah kau ingat tetanggamu di Dzu
Salam
Yang air matanya tercucur bercampur darah?
Kemudian ide-ide al-Bushiri yang
penting dilanjutkan dengan untaian-untaian yang menggambarkan visi yang
bertalian dengan ajaran-ajaran tentang pengendalian hawa nafsu. Menurut dia,
nafsu itu bagaikan anak kecil, apabila diteruskan menetek, maka ia akan tetap
saja suka menetek. Namun jika ia disapih, ia pun akan berhenti dan tidak suka
menetek lagi. Pandangan al-Bushiri tentang nafsu tersebut terdapat pada bait ke-18,
yang isinya antara lain:
وَاَلنَّفْسُ كَتِفْلِى اِنْ تُهْمِىهُ
شَبَّعَلَى
هُبِّ اَلرَّدَعِ واِن تُفْهِمهُ يَنْفَطِمِى
Wa an-nafsu kattifli in tuhmiihu syabba
‘ala
Hubbi ar-radha’i wa in tufhimhu
yanfatimi
Nafsu bagaikan anak kecil, yang bila
dibiarkan menetek
Ia akan tetap senang menetek. Dan bila disapih ia akan
melepaskannya.
Dalam ajaran pengendalian hawa nafsu, al-Bushiri
menganjurkan agar kehendak hawa nafsu dibuang jauh-jauh, jangan dimanjakan dan
dipertuankan, karena nafsu itu sesat dan menyesatkan. Keadaan lapar dan
kenyang, kedua-duanya dapat merusak, maka hendaknya dijaga secara seimbang.
Ajakan dan bujukan nafsu dan setan hendaknya dilawan sekuat tenaga, jangan
diperturutkan (bait 19-25).
Selanjutnya, ajaran Imam al-Bushiri
dalam Burdahnya yang terpenting adalah pujian kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam. la menggambarkan betapa Nabi diutus ke dunia untuk menjadi lampu yang
menerangi dua alam: Manusia dan Jin, pemimpin dua kaum: Arab dan bukan Arab.
Beliau bagaikan permata yang tak ternilai, pribadi yang tergosok oleh
pengalaman kerohanian yang tinggi. Al-Bushiri
melukiskan tentang sosok Nabi Muhammad seperti dalam bait 34-59:
مُحَمَّدٌ سَيِّدٌ الْكَوْنَينِ وَاثَقَولَي
نِيوَالْفَرِقَينِ مِنْ َاُربَلِن وَمِنْ
اَجَمِى
Muhammadun sayyidul kaunain wa tsaqaulai
Ni wal fariqain min urbln wa min ajami
Muhammad adalah raja dua alam : manusia
dan jin
Pemimpin dua kaum: Arab dan bukan Arab.
Pujian al-Bushiri pada Nabi tidak
terbatas pada sifat dan kualitas pribadi, tetapi mengungkapkan kelebihan Nabi
yang paling utama, yaitu mukjizat paling besar dalam bentuk Al Qur’an, mukjizat
yang abadi. Al Qur’an adalah kitab yang tidak mengandung keraguan, pun tidak
lapuk oleh perubahan zaman, apalagi ditafsirkan dan dipahami secara arif dengan
berbekal pengetahuan dan makrifat. Hikmah dan kandungan Al Qur’an memiliki relevansi
yang abadi sepanjang masa dan selalu memiliki konteks yang luas dengan
peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat temporal. Kitab Al Qur’an selamanya hidup dalam
ingatan dan jiwa umat Islam.
Selain Qasidah Burdah, al-Bushiri
juga menulis beberapa kasidah lain di antaranya al-Qashidah al-Mudhariyah dan
al-Qashidah
al-Hamziyah. Sisi lain dari profil al-Bushiri ditandai oleh
kehidupannya yang sufistik, tercermin dari kezuhudannya, tekun beribadah, tidak
menyukai kemewahan dan kemegahan duniawi.
Di kalangan para sufi, ia termasuk dalam
deretan sufi-sufi besar. Sayyid Mahmud Faidh al-Manufi menulis di dalam
bukunya, Jamharat
al-Aulia. bahwa al-Bushiri tetap konsisten dalam hidupnya
sebagai seorang sufi sampai akhir hayatnya. Makamnya yang terletak di
Iskandariah (Alexandria),
Mesir, sampai sekarang masih dijadikan tempat ziarah. Makam itu berdampingan
dengan makam gurunya, Abu Abbas al-Mursi.
Sayyid Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim
bin Muhammad Al Barzanji, pengarang Maulid Barzanji,
adalah seorang ulama besar keturunan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal dari Barzanj
di Irak. Beliau lahir di Madinah Al Munawwaroh pada 1126 H (1714M). Datuk-datuk
Sayyid Ja’far
semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan
keshalihannya. Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki dalam Hawl
al-Ihtifal bi Dzikra al-Mawlid an-Nabawi asy-Syarif pada halaman 99
menulis sebagai berikut:
“Al-Allamah
Al-Muhaddits Al-Musnid As Sayyid Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim Al Barzanji
adalah mufti Syafi’iyyah
di Madinah Al Munawwaroh. Terdapat perselisihan tentang tahun wafatnya.
Sebagian menyebutkan, beliau meninggal pada tahun 1177H (1763M). Imam Az-Zubaid
dalam Al-Mu’jam
Al-Mukhtash menulis, beliau wafat tahun 1184 H (1770M). Imam Az-Zubaid pernah
berjumpa beliau dan menghadiri majelis pengajiannya di Masjid Nabawi yang
Mulia. Beliau
adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama Maulid al Barzanji. Sebagian ulama
menyatakan nama karangannya tersebut adalah ‘Iqd al-Jawhar fi Mawlid an-Nabiyyil Azhar.
Kitab Maulid karangan beliau ini termasuk salah satu kitab maulid yang paling
populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik Timur
maupun barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan
mereka membacanya dalam acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya
merupakan Khulasah (ringkasan) sirah nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran
beliau, pengutusannya sebagai Rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya”
Demikianlah Sobat sedikit ulasan saya
mengenai “Sejarah
Ringkas Qasidah Burdah”, semoga dengan hadirnya tulisan ini mampu
memperkaya khazanah pengetahuan bagi kita semua. Dan tak lupa pula bahwa
janganlah sekali-kali kita meninggalkan sejarah, karena bangsa yang besar
adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.