Keberhasilan
peradaban Islam ditandai dengan kemajuan dunia pendidikan. Namun sangat disayangkan,
para penulis sejarah sering mengabaikan bidang ini dalam menggambarkan kemajuan
Islam tersebut.
“Penulisan sejarah Islam yang ada selama ini menjenuhkan. Sejarah Islam tampak
kehilangan roh dan pedomannya. Sejarah yang tidak memiliki roh dan karakter
akan selalu terjebak pada format yang berulang-ulang dan tak bermakna.”
Demikian tulis Dr.
Hussain Mou’nis, sejarawan asal Mesir dalam bukunya Tanqiyah Ushul
al-Tarikh al-Islami. Apa yang dimaksud oleh Hussain Mou’nis sebagai sejarah yang tanpa makna adalah
bahwa cara penulisan sejarah yang fokus pada perebutan kekuasaan belaka. Menurutnya,
semenjak Dinasti Umayyah, pelukisan sejarah Islam penuh dengan informasi
tentang peperangan. Satu dinasti meruntuhkan dinasti yang lain dan satu sultan
merebut kursi kesultanan yang lain. Hampir-hampir tidak ada celah yang
menuturkan keluhuran budi pekerti dan keagungan ilmu pengetahuan yang dicapai
umat Islam di era kegemilangannya.
“Bukankah
ajaran Islam sendiri merupakan pedoman bagi sejarah Islam yang wajib dipelihara?”,
tanya Hussain Mou’nis.
Oleh sebab itu, umat Islam seharusnya menggali khazanah sejarah Islam yang
cemerlang dan kaya, yang mengungkap kemajuan dan keluhuran. Kegundahan yang
sama diungkapkan oleh Syaikh Muhammad Quthb. Dalam bukunya “Kaifa
Naktubu at-Tarikh al-Islami?” ia menuturkan, kelemahan pokok penulisan
sejarah Islam adalah terlalu menekankan pada sejarah perpolitikan. Aspek-aspek
lain yang lebih penting terlupakan.
“Seni dan budaya, pemikiran, pendidikan, dan banyak lagi aspek kehidupan umat
Islam jauh lebih agung ketimbang sejarah politik. Tidak diragukan lagi, sejarah
perpolitikan adalah sisi yang paling buruk dalam sejarah umat Islam secara
keseluruhan.”
Syaikh Muhammad
Quthb mengumpamakan sejarah perpolitikan umat Islam seperti seorang kerdil yang
lemah, akan tetapi ditempatkan untuk mewakili raksasa yang hebat. Sayangnya,
justru penulisan sejarah tersebut dimulai pada awal perjalanan sejarah umat
Islam. Kaum Sunni dan Syi’ah memiliki versinya sendiri yang saling menyerang
dan menyalahkan. Di sinilah terdapat pemaparan sejarah yang salah mengenai
Islam dan umat Muslim.
|
Ilustrasi: Madrasah Islam Tempo Dulu |
Baik Hussain
Mou’nis dan Syaikh Muhammad Quthb sama-sama meyakini pendidikan merupakan salah
satu aspek sejarah Islam yang bermutu tinggi. Sejak abad ke-10, di dalam dunia
Islam telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan tinggi bertaraf
internasional. Sistem pengajarannya pun terbilang modern di zamannya.
Lembaga-lembaga pendidikan tersebut menyangga pilar-pilar peradaban Islam,
karena mampu menciptakan produk-produk budaya tinggi, seperti ilmu pengetahuan.
Di Kairo Mesir berdiri Universitas Al-Azhar sejak 988 M. Universitas
tertua di dunia ini merupakan tempat yang memadai untuk mempelajari bahasa Arab
dan ilmu-ilmu agama. Di samping itu, ia berperan membentengi akidah umat,
terutama selama penyerbuan tentara salib selama 200 tahun dan dilanjutkan
dengan era kolonialisme di era modern.
Di Baghdad, berdiri Sekolah Tinggi Nizamiyah pada tahun 1067 M. Philip
K Hitti menuturkan, Madrasah Nizamiyah saat itu sudah mempunyai sarana
belajar yang memadai untuk pengembangan keilmuan para penuntut ilmu. Madrasah
Nizamiyah menerapkan sistem yang mendekati sistem pendidikan yang dikenal
sekarang.
Di kota yang
sama juga berdiri Sekolah Tinggi Al-Mustansiriyah pada tahun 1226 M.
Para pelajar di Al-Mustansiriyah sejak dini dikenalkan fikih Sunni empat
mazhab, yakni Hambali, Syafii, Maliki, dan Hanafi.
Guna menunjang proses belajar mengajar di perkuliahan, pihak kesultanan
mendirikan sebuah perpustakaan yang sangat besar. Ibnu Battuta,
penjelajah Muslim asal Maroko, sempat mengutarakan kekagumannya pada kebesaran
dan kemegahan perpustakaan di kampus Al-Mustansiriyah itu.
Lembaga pendidikan tinggi Islam ternama lainnya adalah Universitas
Al-Qarawiyyin di Kota Fez, Maroko. Universitas ini tercatat sebagai salah
satu perguruan tinggi yang paling berwibawa di abad pertengahan. Universitas
itu memegang peranan penting dalam pertukaran kebudayaan dan transfer ilmu
pengetahuan dari dunia Muslim ke Eropa. Melalui proses transfer ilmu pengetahuan dan
kebudayaan itu, masyarakat Eropa mulai tercerahkan. Eropa pun membebaskan
dirinya dari jeratan kegelapan.
Tampaknya benar apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Quthb. Sejarah
perpolitikan umat Islam seperti seorang kerdil yang lemah jika dibandingkan sejarah
pendidikan, yang menyerupai raksasa agung dan mengagumkan. Ribuan intelektual
dan ulama yang ahli dalam berbagai bidang telah lahir dari lembaga-lembaga
pendidikan tinggi Islam terdahulu. Untuk itu, dalam upaya menyaring informasi
sejarah, Hussain Mou’nis memberikan saran agar kita merujuk pada karya-karya
sejarah yang bebas dari tarik-menarik kepentingan politik. Di antara buku-buku
yang di maksud adalah Sejarah al-Thabari, Sejarah al-Yaqubi,
Sejarah Ibn al-Atsir, serta Sejarah Abi al-Fida.
Demikianlah
Sobat tulisan yang berisi opini ini, terima kasih atas kesediaan Sobat membaca
ulasan ini, semoga bisa membantu mencerahkan kita yang haus ilmu pengetahuan. Aamin
Ya Robbal ‘Alamiin!
Title : Bagaimana Pola Pendidikan Pada Masa Keemasan Islam?
Description : Sebagian dari sobat pecinta sejarah mungkin sudah tak asing dengan perkembangan peradadaban Islam di zamannya. Nah, oleh karenanya pada kes...