Sebelum saya mengawali tulisan ini, ada
baiknya anda memahami bahwa ini adalah opini dan persepsi dari saya pribadi. Tidak
ada unsur untuk mengkultus individu atau apapun itu. Pernahkah Sobat mendengar
kutipan lagu ini?
Rindu kami pada mu Ya Rasul
Rindu tiada terperih
Berabad jarak dari mu Ya Rasul
Serasa dikau di sini
Itu adalah intro dari sebuah lagu
karangan “Bimbo” yang berjudul “Rindu Rasul”. Nampaknya lagu ini
sangat pas menggambarkan sosok dua Ulama’ berikut ini. Ialah alm. Ustad Jefry
Al Bukhori dan alm. Habibana Munzir bin Fu’ad Al Musawwa. Kedua Ulama’ ini
adalah sebagian kecil dari contoh Alim Ulama’ lainnya yang wafat di usia muda. Dan
perlu diketahui pula bahwa keduanya ini sama-sama wafat di usia yang ke-40
tahun.
|
Foto: Dokumentasi pada suatu acara |
Pada kesempatan ini saya akan coba
membahas mengenai “Ada Apa di Usia 40 Tahun?” Salah satu hal yang nampak jelas dan nyata tentu saja
kedewasaan, Allah Subhannahu Wa Ta’ala berfirman:
حَتَّى إَذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ
وَبَلَغَ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِى أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ
الَّتِى أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا
تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِى إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّى مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ
Apabila sesorang telah dewasa dan
usianya sampai empat puluh tahun, ia berdo’a: “Ya Tuhanku, jadikanlah aku senantiasa
mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku agar
aku dapat berbuat amal yang shaleh yang engkau ridhai; berilah kebaikan
kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku
bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.”
(Q.S. al-Ahqâf: 15)
Menurut para pakar tafsir, usia 40 tahun
dinilai penting pada ayat ini, karena pada usia inilah manusia mencapai puncak
kehidupannya baik dari segi fisik, intelektual, emosional, karya, maupun
spiritualnya. Orang yang berusia 40 tahun benar-benar telah meninggalkan usia
mudanya dan beralih menapaki usia dewasa penuh. Apa yang dialami pada usia ini
sifatnya stabil, mapan, kokoh. Perilaku di usia ini karenanya akan menjadi
ukuran manusia pada usia-usia berikutnya.
Do’a yang terdapat dalam ayat tersebut
tentu dianjurkan untuk dibaca oleh mereka yang berusia 40 tahunan. Apalagi
mereka yang usianya di atasnya. Di dalamnya tampak terkandung uraian berbagai kondisi
orang yang berusia 40 tahun, yaitu:
- Nikmat yang sempurna telah diterimanya
dan diterima oleh orang tuanya,
- Kecenderungan diri untuk beramal yang positif,
- Rumah tangga yang beranjak harmonis,
- Kecenderungan diri bertaubat dan kembali kepada Sang Pencipta, dan
- Ketegasannya mendeklarasikan diri sebagai pemeluk agama Islam.
Dalam ayat yang lain, Allah Subhannahu
Wa Ta’ala berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا
يَتَذَكَّرُ فِيْهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيْرُ
“Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu
dalam waktu yang cukup untuk berpikir bagi orang-orang yang mau berpikir, dan
(apakah tidak) datang kepadamu sang pemberi peringatan?” (Q.S. Fâthir: 37)
Menurut Ibnu Abbas, Hasan al-Bashri,
al-Kalbi, Wahab bin Munabbih, dan Masruq, yang dimaksud dengan “umur panjang
dalam waktu (masa) yang cukup untuk berpikir” dalam ayat tersebut tidak lain
adalah kala berusia 40 tahun.
Mengapa umur 40 tahun begitu penting?
Dalam tradisi Islam, usia manusia
diklasifikasikan menjadi 4 (empat) periode, yaitu
- Periode anak-anak atau thufuliyah,
- Periode muda atau syabab,
- Periode dewasa atau kuhulah, dan
- Periode tua atau syaikhukhah.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebut bahwa
periode anak-anak itu mulai lahir hingga baligh, periode muda mulai dari usia baligh
sampai 40 tahun, periode dewasa usia 40 tahun sampai 60 tahun, dan usia tua
dari 60-70 tahun.
Usia 40 tahun dengan demikian adalah
usia ketika manusia benar-benar meninggalkan masa mudanya dan beralih menapaki
masa dewasa penuh yang disebut dengan usia dewasa madya (paruh baya) atau kuhulah.
Hal ini sesuai dengan pendapat pakar psikologi seperti Elizabet B. Hurlock,
penulis “Developmental Psychology”. Menurutnya, “usia dewasa awal” atau “early
adulthood” terbentang sejak tercapainya kematangan secara hukum sampai
kira-kira usia 40 tahun. Selanjutnya adalah usia setengah baya atau “middle
age”, yang umumnya dimulai pada usia 40 tahun dan berakhir pada usia 60
tahun. Dan akhirnya, usia tua atau “old age” dimulai sejak berakhirnya
masa setengah baya sampai seseorang meninggal dunia. Nuansa kejiwaan yang
paling menarik pada usia 40 tahun ini adalah meningkatnya minat seseorang
terhadap agama (religius dan spiritual) setelah pada masa-masa sebelumnya minat
terhadap agama itu bisa jadi kecil sebagaimana diungkapkan oleh banyak pakar
psikologi sebagai “least religious period of life”. Oleh karena itu,
dengan berbagai keistimewaannya, maka patutlah jika usia 40 tahun disebut
tersendiri di dalam al-Qur’an. Dan karenanya, tidaklah heran jika para Nabi
diutus pada usia 40 tahun. Baginda Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam diutus sebagai
Nabi tepat pada usia 40 tahun. Begitu juga dengan nabi-nabi yang lain, kecuali
Nabi Isa Alaihisallam dan Nabi Yahya Alaihisallam.
Di banyak negara ditetapkan, untuk
menduduki jabatan-jabatan elit yang strategis, seperti kepala negara,
disyaratkan bakal calon harus telah berusia 40 tahun. Masyarakat sendiri tampak
cenderung baru mengakui prestasi seseorang secara mantap tatkala orang itu
telah berusia 40 tahun. Soekarno menjadi presiden pada usia 44 tahun. Soeharto
menjadi presiden pada umur 46 tahun. J.F. Kennedy 44 tahun. Bill Clinton 46
tahun. Paul Keating 47 tahun. Sementara Tony Blair 44 tahun.
Apa keistimewaan usia 40 tahun?
Salah satu keistimewaan usia 40 tahun
tercermin dari sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam:
العَبْدُ الْمُسْلِمُ إِذَا بَلَغَ
أَرْبَعِيْنَ سَنَةً خَفَّفَ اللهُ تَعَالَى حِسَابَهُ ، وَإِذَا بَلَغَ سِتِّيْنَ
سَنَةً رَزَقَهُ اللهُ تَعَالَى الْإِنَابَةَ إِلَيْهِ ، وَإِذَا بَلَغَ
سَبْعِيْنَ سَنَةً أَحَبَّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ، وَإِذَا بَلَغَ ثَمَانِيْنَ
سَنَةً ثَبَّتَ اللهُ تَعَالَى حَسَنَاتِهِ وَمَحَا سَيِّئَاتِهِ ، وَإِذَا بَلَغَ
تِسْعِيْنَ سَنَةً غَفَرَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ
وَشَفَّعَهُ اللهُ تَعَالَى فِى أَهْلِ بَيْتِهِ ، وَكَتَبَ فِى السَّمَاءِ
أَسِيْرَ اللهِ فِى أَرْضِهِ – رواه الإمام أحمد
“Seorang hamba muslim bila usianya
mencapai empat puluh tahun, Allah akan meringankan hisabnya (perhitungan
amalnya). Jika usianya mencapai enam puluh tahun, Allah akan memberikan
anugerah berupa kemampuan kembali (bertaubat) kepada-Nya. Bila usianya mencapai
tujuh puluh tahun, para penduduk langit (malaikat) akan mencintainya. Jika
usianya mencapai delapan puluh tahun, Allah akan menetapkan amal kebaikannya
dan menghapus amal keburukannya. Dan bila usianya mencapai sembilan puluh
tahun, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan dosa-dosanya yang
belakangan, Allah juga akan memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya,
serta Allah akan mencatatnya sebagai “tawanan Allah” di bumi.” (H.R. Ahmad)
Hadits ini menyebut usia 40 tahun paling
awal, di mana isinya bermakna bahwa orang yang mencapai usia 40 tahun dan ia
tetap memiliki komitmen terhadap penghambaan kepada Allah Subhannahu Wa Ta’ala
sekaligus memiliki konsistensi terhadap Islam dengan wujud ibadah, maka Allah Subhannahu
Wa Ta’ala akan meringankan hisabnya. Perhitungan amalnya akan dimudahkan oleh
Allah Subhannahu Wa Ta’ala. Ini merupakan suatu keistimewaan tersendiri, karena
dihisab, diteliti secara detail, diinterogasi secara berbelit-belit, merupakan
suatu tahapan di akhirat yang sangat sulit, pahit, lama, dan mencekam tak
ubahnya disiksa, betapa pun siksa yang sebenarnya belum dilaksanakan.
Orang yang usianya mencapai 40 tahun
mendapatkan keistimewaan berupa hisabnya diringankan. Bisa jadi ini karena
untuk mencapai usia 40 tahun dengan tingkat penghambaan dan ibadah yang
konsisten tentulah membutuhkan proses perjuangan yang melelahkan. Akan tetapi,
umur 40 tahun merupakan masa saat seseorang harus waspada. Sahabat Qotadah,
tokoh generasi tabiin, berkata:
“Bila seseorang telah mencapai usia 40
tahun, maka hendaklah dia mengambil kehati-hatian dari Allah ‘Azza Wa Jalla.”
Bahkan, sahabat Abdullah bin Abbas Radhiyallahu
‘Anhu dalam suatu riwayat berkata:
“Barangsiapa mencapai usia 40 tahun dan
amal kebajikannya tidak unggul mengalahkan amal keburukannya, maka hendaklah ia
bersiap-siap ke neraka.”
Nasihat yang diungkap oleh dua sahabat
besar tersebut memberikan pengertian bahwa manusia harus mulai bersikap
waspada, hati-hati, dan mawas diri dalam aktivitas pengabdiannya kepada Allah Subhannahu
Wa Ta’ala manakala usianya telah mencapai 40 tahun. Ia diharuskan untuk
meningkatkan atau setidak-tidaknya mempertahankan amal kebajikan yang telah
dibiasakannya pada usia-usia sebelumnya. Bukan menjadi “tua-tua keladi”, makin tua
dosanya makin menjadi-jadi. Atas dasar inilah, maka penduduk Madinah dahulu
yang didominasi oleh para sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam (ketika usia
mereka telah mencapi 40 tahun) mereka konsentrasi beribadah. Mereka mulai
memprioritaskan hari-harinya untuk aktivitas ibadah. Kesibukan mencari materi
mereka kurangi dan beralih memfokuskan diri pada kegiatan yang bersifat
non-materi, dalam rangka memobilisasi bekal sebanyak-banyaknya bagi kehidupan
setelah mati. Hal yang sama dilakukan oleh penduduk Andalusia, Spanyol (baik
Muslim maupun nun-Muslim) sampai saat ini.
Imam asy-Syafi’i tatkala mencapai usia
40 tahun, beliau berjalan seraya memakai tongkat. Jika ditanya, beliau
menjawab:
“Agar aku ingat bahwa aku adalah
musafir. Demi Allah, aku melihat diriku sekarang ini seperti seekor burung yang
dipenjara di dalam sangkar. Lalu burung itu lepas di udara, kecuali telapak
kakinya saja yang masih tertambat dalam sangkar. Komitmenku sekarang seperti
itu juga. Aku tidak memiliki sisa-sisa syahwat untuk menetap tinggal di dunia.
Aku tidak berkenan sahabat-sahabatku memberiku sedikit pun sedekah dari dunia.
Aku juga tidak berkenan mereka mengingatkanku sedikit pun tentang hiruk pikuk
dunia, kecuali hal yang menurut syar’i layak bagiku. Di antara aku hanya ada
Allah.”
Syeikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam
kitab “al-Bahr al-Maurûd” menyatakan:
“Kita memiliki keterikatan janji
manakala umur kita telah mencapai 40 tahun, bahwa kita harus melipat alas tidur
kecuali bila dalam keadaan darurat (mengantuk dan sulit dihindari), kita tidak
boleh alpa dari keberadaan kita sebagai para musafir ke negeri akhirat di
setiap detak nafas, sehingga kita tidak merasa memiliki kenyamanan sedikit pun
di dunia. Kita harus melihat sedetik nafas dari umur kita setelah usia 40 tahun
sebanding dengan 100 tahun dari umur sebelumnya. Pasca usia 40 tahun, tidak ada
istirahat bagi kita, tidak lagi berebutan atas suatu jabatan (kursi), tidak
juga merasa senang dengan sedikit pun dari dunia. Semua itu karena sempitnya
usia pasca 40 tahun. Tidaklah pantas orang yang berada di ujung kematian
berlaku lalai, lupa, santai, dan bermain-main.”
Lantas, apa yang harus kita lakukan
ketika menginjak usia 40 tahun? Beberapa diantaranya:
- Meneguhkan tujuan hidup
- Meningkatkan daya spiritualisme
- Menjadikan uban sebagai peringatan
- Memperbanyak bersyukur
- Menjaga makan dan tidur
- Menjaga konsistensi dan kontinuitas
Jika ada yang mengatakan bahwa: “Life
began at Fort”, saya cenderung berpendapat bahwa kehidupan yang dimaksud
adalah kehidupan religius, kehidupan yang berfokus dan konsentrasi untuk
persiapan menuju negeri akhirat. Karena bagaimanapun, statemen Helen Rowland
itu belum selesai. Lanjutnya, … but so do fallen arches, rheumatism, faulty
eyesight, and the tendency to tell a story to the same person, three or four
times. Kehidupan memang dimulai umur 40 tahun, tetapi pada saat itu kita
juga mulai sakit, reumatik, rabun, dan kecenderungan pikun.
Karena itulah, seperti syair Ali bin Abi
Thalib Karamallahu Wajha ini bisa dijadikan renungan:
إِذَا عَاشَ الْفَتَى سِتِّيْنَ
عَامًا # فَنِصْفُ الْعُمْرِ تَمْحَقُهُ اللَّيَالِي
وَرُبْعُ الْعُمْرِ يَمْضِى لَيْسَ
يُدْرَى # أَيُقْضَى فِى يَمِيْنٍ أَوْ شِمَالِ
وَرُبْعُ الْعُمْرِ أَمْرَاضٌ وَشَيْبٌ #
وَشُغْلٌ بِالتَّفَكُّرِ وَالْعِيَالِ
“Jika seorang pemuda dikaruniai usia 60
tahun, maka separuh usianya habis oleh tidur di malam hari. Sementara
seperempat usianya berlalu tanpa diketahui, apakah dijalankan ke kanan atau ke kiri.
Seperempat usianya yang lain dimangsa oleh sakit, uban, dan kesibukan mengurus
keluarga.”
Jika umur kita pada kenyataannya lebih
banyak yang kita habiskan untuk sesuatu yang tidak berguna, maka kiranya kini
saatnya untuk tidak lagi menyia-nyiakan waktu yang tersisa. Sebagaimana sahabat
Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu pernah menceritakan hadits dari Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam:
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
memegang kedua pundakku dan bersabda: “Jadilah di dunia seakan-akan kamu orang
asing (perantau) atau pengembara (musafir).” Abdullah bin Umar berkata, “Jika
berada di waktu sore, jangan menanti waktu pagi. Jika berada di waktu pagi,
jangan menanti waktu sore. Pergunakanlah (rebutlah) masa sehatmu (dengan
amal-amal shaleh) untuk bekal (antisipasi) masa sakitmu dan masa hidupmu untuk
bekal (antisipasi) masa matimu.” (H.R. Bukhari).
Bagaimana Sobat? Insya Allah
sangat istimewa kan? Demikianlah untaian hikmah yang bisa saya bagikan pada
kesempatan ini, semoga kita digolongkan hamba-Nya yang mampu mengisi umur kita
dengan sebaik-baiknya sehingga meringankan hisab kita besok di akhirat. Amin
Ya Robbal ‘Alamiin!